Ilustrasi tirto.id
Penerbitpakalawaki.com-Pendidikan adalah upaya menuju perubahan yang lebih baik. Salah satu pelaku dalam usaha ini tentu saja guru. Setiap tanggal 25 November yang jatuh pada esok hari, pemerintah memperingatinya sebagai Hari Guru. Hal ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden no. 78 tahun 1994. Salah seorang tokoh pendidikan sastrawan dan aktivis pergerakan yang kiranya jarang diketahui publik nasional adalah Daeng Kanduruan Ardiwinata (1866-1947).
Sang Kanduruan Ardiwinata terlahir dari seorang ayah berdarah Bugis dan ibu berdarah Sunda. Menurut Tini Kartini dalam Daeng Kanduruan Ardiwinata: Sastrawan Sunda (1979, hlm.1), jiwa pejuangnya diwariskan dari garis keturunan ayah. Kakeknya yang bernama Karaeng Yukte Desialu adalah Raja Lompo (besar) dari Makassar yang dibuang ke Bandung oleh pemerintah Belanda karena memberontak. Ia dibuang bersama putranya, Baso Daeng alias Daeng Sulaeman, dan kakanya, Karaeng Balasuka.
Di Bandung, Baso Daeng Pasau mempersunting Nyi Mas Rumi yang kemudian melahirkan Ardiwinata. Ketika anak itu berusia tiga tahun, kakek dan ayahnya mendapat pengampunan dan diperkenankan kembali ke Makassar. Karena keluarga ibunya tidak mengizinkan Nyi Mas Rumi mengikuti suaminya ke Makassar, maka Ardiwinata dan ibunya ditinggalkan di Bandung. Tumbuh dalam keluarga bangsawan, Ardiwinata mendapat akses pendidikan yang baik, terutama ilmu agama Islam. Ia mendapat bimbingan dari keluarga dan belajar dari pesantren ke pesantren.
Memasuki pertengahan tahun 1800, terjadi gelombang protes pertama dari kaum liberal Belanda yang dipimpin Johan Rudolf Thorbecke sebagai respons terhadap buruknya sistem tanam paksa yang dilaksanakan di Hindia Belanda. Dalam buku Sejarah Pendidikan Indonesia (1983, hlm. 13) disebutkan, pemerintah kolonial menjawabnya dengan membuka sekolah-sekolah bagi anak bumiputra. Hal ini diwujudkan melalui Peraturan Pemerintan tahun 1854 dan 1863. Ardiwinata yang lahir pada 1866 ikut menikmati kebijakan tersebut. Ia mulai mengenyam pendidikan di sekolah pemerintah pada tahun 1878, terdaftar sebagai siswa di Sakola Cibadak setingkat SD dan melanjutkan ke Sakola Raja (Sekolah Guru atau Kweekschool). Masih dalam catatan Tini Kartini, Ardiwinata termasuk murid yang pandai sehingga saat duduk di kelas tiga ia mengikuti ujian akhir dan berhasil. Tahun 1886 ia diangkat menjadi calon guru di Sakola Cibadak bekas tempat belajarnya. Warsa 1901 Ardiwinata dipindahkan ke Sakola Menak atau OSVIA sebagai guru bahasa Melayu sampai tahun 1910.
Kiprah Ardiwinata membuat masyarakat antusias dan mulai memperhatikan pentingnya pendidikan. Hal ini membuat sekolah harus menyeleksi calon siswa karena alasan daya tampung. Atas kondisi itu, Ardiwinata mencetuskan gagasan untuk membuka sekolah swasta di rumahnya. Selain itu, Ardiwinata juga sadar akan pentingnya ruang bagi para guru untuk bertukar pendapat dan pikiran. Maka itu, ia bersama koleganya mendirikan perkumpulan bernama Panemu Guru seperti disebut dalam buku Panemu Guru-Guru yang dikutip Tini Kartini. Perkumpulan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan guru dalam berbahasa Sunda, serta meningkatkan dan menambah pengetahuan lainnya dengan jalan bertukar pikiran. Keanggotaannya tidak terbatas pada guru yang ada di Bandung, tetapi terbuka bagi guru-guru yang ada di luar Bandung. Juga bagi perorangan di luar lingkungan guru yang menaruh minat terhadap perkumpulan tersebut. Sepak terjangnya di bidang pendidikan membuat Ardiwinata mendapat gelar "Kanduruan", yakni gelar kehormatan yang diberikan kepada guru yang banyak jasanya. Selain itu, pada tahun 1912 ia juga menerima penghargaan bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Selain sebagai guru, Ardiwinata juga aktif di bidang sastra, khususnya sastra Sunda. Ia sempat jadi editor karya-karya berbahasa Sunda di Commisie voor Inlandsche School en Volkslectuur yang didirikan tahun 1908. Kelak lembaga ini berganti nama menjadi Balai Pustaka pada tahun 1920. Ardiwinata menjadi pelopor kelahiran sastra Sunda modern dalam bentuk novel. Ia mengubah gaya penulisan sastra Sunda yang sebelumnya didominasi wawacan dan dangding. Dari tangannya kemudian lahir novel Sunda pertama berjudul Baruang ka nu Ngarora (Racun bagi Kaum Muda). Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1914 oleh percetakan G. Kolff & Co. di Weltevreden, dan terbagi menjadi dua jilid. Masing-masing terdiri dari 63 halaman dan 48 halaman.
Novel ini menjadi titik balik dalam perkembangan sastra Sunda. Hal ini karena karya sebelumnya, yakni wawacan, yang populer di masyarakat Sunda sangat dipengaruhi oleh sastra Jawa. Selain itu, sejak 1860 hingga sebelum tahun 1914, terdapat anggapan di kalangan sastrawan Priangan bahwa karya yang baik mesti dikemas dalam bentuk dangding. Lewat Baruang ka nu Ngarora, Ardiwinata menjadi pengarang Sunda yang pertama kali menulis dalam bentuk roman, baik secara struktural maupun estetis memenuhi kriteria roman modern. Setelahnya, bermunculan karya-karya roman modern lain seperti Agan Permas karangan Yuhana (1926), Siti Rayati karangan Muhamad Sanusi (1927), dan Mantri Jero karangan R. Memed Sastrahadiprawira.
Penulisan prosa dalam bahasa Sunda sebetulnya telah dimulai oleh R.H. Moehamad Moesa (1822-1886), tetapi isinya masih berupa hikayat, tokoh-tokohnya mempunyai mukjizat dan kesaktian yang tidak pernah atau jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sementara dalam dalam Baruang ka nu Ngora, tokoh-tokohnya adalah orang kebanyakan dengan segala kebaikan dan keburukannya yang wajar. Selain itu, alur ceritanya tersusun rapi dengan bahasa yang lancar. Selain Baruang ka nu Ngora, Ardiwinta juga menulis Piwulang ka nu Tani (Nasihat kepada Petani), Pituah Pupurieun (Petuah Tercecer), Dongeng-dongeng Sunda, Saruni Sarosopan, dan Dongeng Palukna. Ia juga menulis esai sastra yaitu Proza en Poeizie (1914), R. Saleh (1914) dan Papanggih di Panyabaan (1916). Warsa 1916, Ardiwinata mendirikan lingkungan kesusasteraan dengan nama Sastra Winangun (Pembangunan Sastra) yang bertujuan memelihara bahasa dan kesusastraan Sunda.
Komentar
Posting Komentar